Penulis : Asy-Syaikh
Al-‘Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi
Segala puji bagi ALLAH dan shalawat serta salam kepada
Rasulullah, keluarga dan para Shahabatnya.
Wa ba’du :
Sesungguhnya saya diminta untuk menyampaikan sepatah kata melalui telpon ke
Inggris dengan judul SIAPAKAH SALAF?
Salaf adalah orang-orang yang ALLAH telah memerintahkan kita untuk berpegang
dengan Al-Qur`ân dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman mereka.
Saya katakan (bahwa) kata salaf (secara bahasa, ed.) berlaku pada setiap orang
yang telah mendahului anda.
Al-Jauhari berkata dalam kamus Mukhtârus-Shihâh hal. 331 : “Kata salafa
yaslufu, dengan men-dhammah (lam mudhâri’)-nya, salafan, dengan dua fathah
adalah yang telah lalu. Kaum sullaf adalah kaum terdahulu. Salaf seseorang
adalah kakek moyangnya terdahulu. Dan bentuk jamak (kata salaf) adalah aslaf
dan sullaf.” -Selesai-.
Di dalam hadits tentang ucapan salam kepada penghuni kubur bagi yang
melewatinya, Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam mengajarkan
umatnya untuk mengucapkan :
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ المُسْلِمِيْنَ
وَالمُؤْمِنِيْنَ أَنْتُمْ
سَلَفُنَا وَنَحْنُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ يَغْفِرُ اللهُ لَنَا
وَلَكُمْ
“Semoga keselamatan bagi kalian para penghuni kubur dari
kalangan muslimin dan mukminin. Kalian adalah salaf kami dan kami akan menyusul
kalian. Semoga ALLAH mengampuni (-dosa-dosa-)
kami dan (-dosa-dosa-) kalian.”
Sabda Nabi Shallahu 'Alaihi Wasallam ("Kalian adalah salaf kami.."),
artinya: kalian adalah pendahulu kami.
ALLAH ‘Azza wa Jalla telah mensifati kaum mukminin, bahwa mereka
adalah orang-orang yang mendoakan kaum mukminin yang telah mendahului mereka
dengan (membawa) keimanan, ketika ALLAH membagi mereka menjadi tiga golongan
-di dalam surat
Al-Hasyr-.
ALLAH berfirman:
(Artinya:(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari
kampung halaman dan dari harta benda mereka (-karena-) mencari karunia dari
ALLAH dan keridhaan (-Nya-)…) (Al-Hasyr : 8)
Kemudian ALLAH subahanahu wa ta’ala berfirman :
(Artinya:Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman
(Anshar) sebelum (-kedatangan-) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang
berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin).)(Al-Hasyr : 9)
Golongan ke-tiga adalah yang datang setelah mereka, sebagaimana yang ALLAH
sifatkan mereka melalui firman-Nya :
(Artinya: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar),
mereka berdoa: “Ya Rabb kami, berilah ampunan kepada kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Dan janganlah Engkau biarkan
kedengkian di dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami,
sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”) (Al-Hasyr : 10)
Al-Baghawi telah menukil dari Ibnu Abi Laila bahwa dia berkata :
“Manusia terbagi menjadi tiga golongan, yaitu Muhajirin dan orang-orang yang
telah tinggal di Madinah dan beriman sebelum (-kedatangan-) mereka (kaum
Muhajirin), (-saya berkata : "yaitu Anshar." Kemudian dia
melanjutkan-) serta orang-orang yang datang setelah mereka. Maka
bersungguh-sungguhlah agar anda tidak keluar dari ketiga golongan ini.”
Syaikh Al-‘Allâmah As-Si’di berkata -setelah menafsirkan dua ayat tentang kaum
Muhajirin dan Anshar- :
“Keduanya adalah golongan yang utama lagi shaleh. Mereka adalah para Shahabat
yang mulia dan para Imam dan tokoh-tokoh yang telah mendapatkan
(-keistimewaan-) pertama. Keutamaan dan kedudukan mulia yang membuat mereka
melampaui orang yang datang setelahnya, sehingga dengan itu mereka juga
mencapai (-kedudukan-) orang-orang sebelumnya. Merekapun menjadi panutan kaum
mukminin, para tokoh muslimin, dan para pimpinan orang-orang yang bertakwa.
Oleh sebab itu ALLAH menyebutkan bahwa di antara orang-orang yang akan datang
terdapat orang-orang yang mengikuti mereka. ALLAH berfirman, “Dan orang-orang
yang datang sesudah mereka.” Yaitu setelah kaum Muhajirin dan Anshar, mereka
berdoa dalam rangka menasehati diri sendiri dan selain mereka dari seluruh muslimin
:
(Artinya:“Ya Rabb kami, berilah ampunan kepada kami dan saudara- saudara kami
yang telah beriman lebih dahulu dari kami.”)
(-masih-) As-Si’di berkata : Ini adalah doa yang mencakup seluruh kaum mukminin
dari generasi pertama para Shahabat, sebelum, dan setelah mereka. Dan ini
termasuk keutamaan keimanan, bahwa kaum mukminin saling memberikan manfaat dan
saling mendoakan dengan sebab kesatuan iman -yang mengharuskan adanya ikatan
ukhuwah antar sesama mukminin- , yang di antara cabang (-ikatan ukhuwah itu-)
adalah saling mendoakan dan saling mencintai antara yang satu dengan lainnya.
Oleh sebab itu ALLAH menyebutkan penghapusan kedengkian dari
hati secara keseluruhan, sedikit, dan banyaknya di dalam doa ini, di-mana jika
kedengkian telah hilang, maka tetaplah kebalikannya, yaitu kecintaan,
loyalitas, nasehat, dan semisalnya -yang merupakan hak-hak kaum mukminin-.
Kemudian ALLAH mensifati generasi yang hidup setelah Shahabat dengan keimanan,
sebab doa mereka ("…saudara-saudara kami yang telah beriman lebih
dahulu…") menunjukkan kebersamaan mereka dalam keimanan. Dan mereka
mengikuti keyakinan dan pokok-pokok keimanan para Shahabat. Mereka adalah
Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah -tiada yang yang benar menyandang sifat ini secara
sempurna kecuali mereka-.
Dan ALLAH mensifati mereka dengan pengakuan mereka terhadap dosa-dosa,
permohonan ampun darinya, saling memohonkan ampun, serta kesungguhan mereka
untuk menghilangkan kedengkian dan dendam terhadap sesama saudaranya yang
beriman. Sebab doa mereka mengandung konsekuensi sebagaimana yang telah kami
sebutkan dan mengandung sikap saling mencintai satu sama lainnya, cinta
terhadap saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, serta memberikan nasehat
kepadanya dalam keadaan ada atau tidak, hidup atau mati.
Kemudian mereka menutup doanya dengan menyebut dua nama yang mulia yang
menunjukkan kesempurnaan rahmat-ALLAH, kasih sayang yang mendalam, dan
kebaikan-Nya kepada mereka, yang intinya -bahkan yang termulia- berupa taufik
kepada mereka untuk menunaikan hak-hak-Nya dan hak-hak hamba-Nya.
Merekalah tiga golongan umat ini. Yaitu kaum Muhajirin, Anshar - mereka adalah
para Shahabat Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa sallam-, kemudian generasi
mukminin setelah mereka. Masing-masing mereka berhak mendapatkan fai’ yang bisa
dialokasikan untuk kemaslahatan Islam.”
Saya (syaikh Ahmad An-Najmi) berkata : Dan di antara yang menunjukkan
(keharusan) generasi mukminin sekarang meneladani para Shahabat Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam adalah celaan ALLAH ‘Azza wa Jalla -terhadap yang
meninggalkan jalan para Shahabat- di dalam firman-Nya :
(Artinya:Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (-yaitu para Shahabat,
karena ayat ini turun pada zaman mereka-), Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.) (An- Nisaa` : 115)
Dan ALLAH telah memerintahkan melalui lisan Rasul-Nya untuk mengikuti sunnahnya
dan sunnah Khulafâ` Ar-Râsyidîn yang telah mendapatkan petunjuk -setelah
beliau-, sebagaimana di dalam hadits Al-Irbâdh bin Sâriyah :
“Wajib bagi kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafâ`
Ar-Râsyidîn yang telah mendapatkan petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah tersebut
dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hati kalian dari perkara-perkara baru (-
yang diada-adakan-) dalam agama ini…”
Dan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang hadits iftirâq :
“Akan terpecah umat ini menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali
satu.” Para Shahabat bertanya : “Siapa mereka wahai Rasulullah ?” Beliau
menjawab : “Mereka yang menempuh jalan seperti jalan yang saya dan para
Shahabat tempuh.”
Maka sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ini menetapkan para Shahabatnya
serta menjadikan pemahaman dan amal perbuatan mereka sebagai teladan bagi
generasi setelah mereka. Sebab mereka adalah orang-orang yang terjaga dari
bersepakat di atas kesesatan, (sebagaimana) terdapat dalam hadits :
“Ummatku tidak akan sepakat di-atas kesesatan.”
Mengikuti jalan para ‘ulama salaf adalah wajib atas setiap muslim dan muslimah
dalam segala perkara agama. Dan dalil akan wajibnya berasal dari Al-Qur’an,
As-Sunnah dan ijma’ (kesepakatan) para ‘ulama dari zaman ke zaman.
Dalil Wajibnya Dari Al-Qur`an
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Artinya“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari
orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya,
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS.
At-Taubah ayat 100 ):
.
Ayat ini sangat tegas menunjukkan wajibnya mengikuti jalan para
Salaf dan bahwa orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik akan mendapatkan
keridhaan dan mendapat pahala sorga. Maka ini menunjukkan bahwa orang yang
tidak mengikuti mereka akan mendapat siksaan dan tidak akan mendapatkan
keridhaan.
Dan Allah menjadikan keimanan para shohabat sebagai simbol kebenaran dan
petunjuk, didalam firman-Nya Allah menegaskan :
Artinya“Maka jika mereka beriman seperti apa yang kalian telah
beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka
berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka
Allah akan memelihara kalian dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui”. (QS.Al-Baqorah : 137)
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah menafsir ayat ini dalam tafsir beliau
yang terkenal : “{Maka jika mereka beriman} yaitu orang-orang kafir dari
Ahlul Kitab dan selain mereka {seperti apa yang kalian telah beriman
kepadanya} wahai kaum mu’minin dengan keimanan kepada seluruh kitab Allah dan
Rasul-Nya tanpa membedakan seorangpun dari mereka {sungguh mereka telah
mendapat petunjuk} yakni mereka telah tepat diatas kebenaran dan
mendapatkan petunjuk kepadanya”.
Bahkan Allah ‘Azza Dzikruhu mengancam orang-orang yang
menyelisihi jalan para salaf dalam firman-Nya :
Artinya“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan
ia larut dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS.
An-Nisa : 115).
Berkata Ibnul Qoyyim Al-Jauzy : “Sisi pendalilan dari ayat ini :
bahwa ayat ini menjadikan penyelisihan jalan kaum Mu’minin sebagai sebab
larutnya di jalan kesesatan dan masuknya ke dalam Jahannam, sebagaimana (ayat
ini) juga menunjukkan bahwa mengikuti jalan Ar-Rasul shollallahu
‘alahi wa alihi wa sallam merupakan bagian dari pokok Islam yang
agung yang memberikan konsekwensi harus dan wajibnya menempuh jalan kaum
Mu’minin lagi wajibnya. Adapun jalan kaum Mu’minin adalah perkataan dan
perbuatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, ini ditunjukkan oleh
firman-NyaTa’ala :
“Rasul
telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman”. (QS.Al-Baqorah :
285).
Dan kaum mu’minin waktu itu adalah para shahabat”. Demikian perkataan Ibnul
Qoyyim dinukil dengan perantaraan kitab Bashoir dzawi Asy-Syaraf
Bimarwiyat Manhaj As-Salaf hal.54.
Kenapa
kita harus mengikuti as Salaf???
Jawaban dari pertanyaan ini akan kita dengarkan dari seorang imam ahlil Hadist
pada zaman ini yaitu; al Muhaddist al `Allaamah Muhammad Naashiruddiin al
Albaaniy rahimahullahu Ta`aala.
Pertanyaan : Kenapa harus dinamakan dengan as Salafiyyah?? Apakah da`wah ini
merupakan da`wah hizbiyyah, atau da`wah thooifiyyah atau da`wah madzhabiyyah,
atau dia ini merupakan satu golongan yang baru dalam Islam ini??
Jawaban : Sesungguhnya kata kata “as Salaf” ma`ruufun (sangat dikenal) dalam
bahasa `arab dan di dalam syari`at ini, yang terpenting bagi kita disini adalah
pembahasannya dari sisi syari`at.
Sesungguhnya telah shohih dari pada Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam,
bahwasanya beliau `Alaihi wa Sallam pernah berkata kepada anaknya Faathimah
radhiallahu `anha sebelum beliau `Alaihi wa Sallam wafat :
Artinya : “Bertaqwalah kamu kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya sebaik
baik “salaf” bagi kamu adalah saya…”[1]
Penggunaan kalimat ‘salaf” sangat ma`ruf dikalangan para `ulama salaf dan sulit
sekali untuk dihitung dan diperkirakan, cukup bagi kita satu contoh dari sekian
banyak contoh contoh yang digunakan oleh mereka dalam rangka untuk memerangi
bid`ah bid`ah.
“Setiap kebajikan itu adalah dengan mengikuti orang salaf dan setiap kejelekan
tersebut adalah yang diada adakan oleh orang khalaf”.
Ada sebahagian orang yang menda`wakan memiliki `ilmu, mengingkari penisbahan
kepada “salaf”, dengan da`waan bahwa nisbah ini tidak ada asalnya. Dia berkata
: “Tidak boleh bagi seseorang muslim untuk mengatakan saya seorang “salafiy,” seolah
olah dia mengatakan juga : “Tidak boleh bagi seseorang mengatakan saya muslim
yang mengikuti para “salafus shoolih” dengan apa apa mereka di atasnya dalam
bentuk `aqidah, `ibadat dan akhlaq.” Maka tidak diragukan lagi bahwa
pengingkaran seperti ini kalau benar benar dia ingkari, sudah tentu diwajibkan
juga bagi dia untuk berlepas diri dari Islam yang benar, yang telah dijalani
oleh para “salafus shoolih”, Rasuulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam telah
mengisyaratkan dalam hadist hadist yang mutawaatir diantaranya :
Artinya : “Sebaik baik ummat saya adalah yang hidup sezaman dengan saya
(sahabatku), kemudian orang orang yang mengikuti mereka (at Taabi`uun),
kemudian orang orang yang mengikuti mereka (at Baaut Taa`bi`iin)….”[2]
Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari penisbahan kepada
as Salafus Shoolih, sebagaimana kalau seandainya berlepas diri juga dari
penisbahan yang lainnya, tidak mungkin bagi seorang ahli `ilmu untuk
menisbahkannya kepada kekufuran atau kefasikan.
Orang yang mengingkari penamaan seperti ini (nisbah kepada “salaf”). Apakah
kamu tidak menyaksikan, bukankah dia menisbahkan dirinya kepada satu madzhab
dari sekian madzhab yang ada?, apakah madzhab ini berhubungan dengan `aqidah
atau fiqh. Sesungguhnya dia mungkin Asy`ariy, Maaturiidiy dan mungkin juga dia
dari kalangan ahlul hadist atau dia Hanafiy, Syaafi`ii, Maalikiy atau Hanbaliy
diantara apa apa yang termasuk kedalam penamaan ahlus Sunnah wal Jamaa`ah,
padahal seseorang yang menisbahkan dirinya kepada madzhab asy`Ariy atau kepada
madzhab yang empat, sebenar dia telah menisbahkan dirinya kepada pribadi
pribadi yang bukan ma`suum tanpa diragukan, walaupun diantara mereka ada juga
para `ulama yang benar, alangkah aneh dan sangat mengherankan sekali, kenapa dia
tidak mengingkari penisbahan kepada pribadi yang tidak ma`suum ini???
Adapun seorang yang mengintisabkan dirinya kepada “as Salafus Shoolih”,
sesungguhnya dia telah menyandarkan dirinya kepada seseorang yang ma`suum
secara umum (yang dimaksud Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam), Nabi
Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam telah menyebutkan tentang tanda tanda
“al Firqatun Naajiyyah” yaitu seseorang yang berpegang teguh dengan apa yang
Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam dan para shohabatnya ada di atasnya,
maka barang siapa yang berpegang teguh dengan jalan mereka secara yaqin, dia
betul betul berada di atas petunjuk Robnya.
Nisbah kepada “as Salaf” ini merupakan nisbah yang akan memuliakan seseorang
menisbahkan dirinya kepadanya, kemudian memudahkan baginya untuk mengikuti
jalan kelompok orang yang selamat tersebut, tidak sama dengan seseorang yang
menisbahkan dirinya kepada nisbah yang lain, karena penisbahan itu tidak akan
terlepas dia diantara dua perkara :
Pertama, dia mungkin meng-intisabkan dirinya kepada seseorang yang bukan
ma`suum, atau kepada orang orang yang mengikuti manhaj (methode) orang yang
bukan ma`suum ini, yang tidak ada sifat suci baginya, berbeda dengan shahabat
Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam yang memang diperintahkan kita oleh Nabi
Shollallahu `alaihi wa Sallam untuk berpegang teguh dengan sunnah
(cara/methode)nya dan sunnah para shahabatnya setelah beliau wafat.
Dan kita akan terus menerus menganjurkan dan menerangkan agar pemahaman kita
terhadap al Quraan dan as Sunnah benar - benar sesuai dengan pemahaman para
shahabatnya Shollallahu `alaihi wa Sallam, supaya kita terjaga daripada
berpaling dari kanan dan kekiri, juga terpelihara dari penyelewengan pemahaman
yang khusus, sama sekali tidak ada dalil yang menunjukan atas pemahaman itu
dari Kitaabullahi Subhaana wa Ta`aalaa dan Sunnah RasulNya Shollallahu `alaihi
wa Sallam.
kenapa tidak cukup bagi kita untuk
menisbahkan diri kepada al Quraan as Sunnah saja?
Jawabannya kembali kepada dua sebab :
Pertama : Berhubungan dengan nash nash syar`ii.
Kedua : Melihat kepada keadaan firqoh firqoh (golongan golongan) islaamiyah
pada sa`at ini.
Ditinjau dari sebab yang pertama : kita menemukan dalil dalil syar`ii
memerintahkan untuk menta`ati sesuatu yang lain disandari kepada al Kitab dan
as Sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Allah Ta`aalaa :
Artinya : “Hai orang orang yang beriman, tha`atilah Allah dan tha`atilah
RasulNya, dan ulil amri diantara kalian.” ( QS. An Nisaa` 59 ).
Kalau seandainya ada waliyul amri yang dibai`at dikalangan kaum muslimin maka
wajib untuk mentha`atinya sebagaimana kewajiban mentha`ati al Kitab dan as
Sunnah, bersamaan dengan demikian kadang kadang dia salam serta orang orang
disekitarnya, namun tetap wajib mentha`atinya dalam rangka mencegah kerusakan
daripada perbedaan pandangan pandangan yang demikian dengan syarat yang
ma`ruuf, demikian disebutkan dalam hadist yang shohih :
Artinya : “Tidak ada ketha`atan di dalam ma`shiat, sesungguhnya ketha`atan itu
hanya pada yang ma`ruuf.”[3]
Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa berfirman:
Artinya : “Barang siapa menyakiti (menyelisihi) as Rasul Shollallahu `alaihi wa
Sallam setelah sampai (jelas) kepadanya hudan (petunjuk), lalu dia mengikuti
bukan jalan orang mu`minin (para shahabat), kami akan palingkan dia kemana
sekira kira dia berpaling, lalu kami akan masukan dia keneraka jahannam yang
merupakan sejelek jelek tempat baginya.”(QS.
An Nisaa :115).
Sesungguhnya Allah `Azza wa Jalla Maha Tinggi dan Maha Suci Dia dari sifat
kesia sia-an, tidak diragukan dan disangsikan lagi bahwasanya penyebutan jalan
orang mu`miniin pada ayat ini sudah tentu ada hikmah dan faedah yang sangat
tepat, yaitu; bahwasanya ada kewajiban yang penting sekali tentang pengikutan
kita kepada Kitaabullahi Subhaana wa Ta`aalaa dan Sunnah RasulNya Shollallahu
`alaihi wa Sallam wajib untuk dicocokan dengan apa apa yang telah dijalani oleh
orang muslimiin yang pertama dikalangan ummat ini, mereka adalah shahabat Rasul
Shollallahu `alaihi wa Sallam; kemudian orang orang yang mengikuti mereka dengan
baik, inilah yang selalu diserukan oleh ad Da`watus Salafiyyah, dan apa apa
yang telah difokuskan dalam da`wah tentang asas asas dan tarbiyahnya.
Sesungguhnya “ad Da`watus Salafiyyah”-merupakan satu satunya da`wah yang haq
untuk menyatukan ummat ini, sementara apapun bentuk da`wah yang lain hanya
memecah belah ummat ini; Allah `Azza wa Jalla berfirman :
Artinya : “Hendaklah kamu bersama orang orang yang benar”.(QS. At Taubah : 119), dan barangsiapa yang membedakan diantara al
Kitaab dan as Sunnah disatu sisi, dan antara “as Salafus Shoolih disisi yang
lainnya dia bukan seorang yang jujur selama lamanya.
Ditinjau dari sebab yang kedua : Kelompok kelompok dan golongan golongan pada
hari ini sama sekali tidak menghadap secara muthlaq untuk mengikuti jalan orang
mu`miniin (jalan para shahabat radhiallahu `anhum) seperti yang disebutkan pada
ayat diatas, dan dipertegas lagi dengan sebahagian hadist hadist yang shohih
diantaranya : hadist al firaq (mengenai perpecahan) menjadi tujuh puluh tiga
gologan, yang keseluruhannya di neraka kecuali satu, Rasuulullahu Shollallahu
`alaihi wa Sallam telah menjelaskan tentang sifatnya bahwasanya dia :
Artinya : “Dia (al Firqatun Naajiyyah) itu adalah sesuai dengan apa apa yang
saya hari ini dan para shahabat saya.”[4]
Dan hadist ini serupa dengan ayat diatas menyebutkan jalan orang mu`miniin,
diantaranya juga hadist al `Irbaadh bin Saariyah radhiallahu `anhu :
Artinya : “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan Sunnah dan Sunnah al
Khulafaaur Raasyidiin al Mahdiyiin setelah saya.”[5]
Jadi dihadist ini menunjukan dua Sunnah : Sunnatur Rasuul Shollallahu `alaihi
wa Sallam dan Sunnatul Khulafaaur Raasyidiin.
Diwajibkan bagi kita-akhir ummat ini- untuk kembali kepada al Kitaab dan as
Sunnah dan jalan orang mu`miniin (as Salafus Shoolih), tidak dibolehkan bagi
kita mengatakan: kita akan memahami al Kitab dan as Sunnah secara bebas
(merdeka) tanpa meruju` kepada pemahaman “as Salafus Shoolih!!”
Dan wajib adanya penisbahan yang membedakan secara tepat pada zaman ini, maka
tidak cukup kita katakan : saya muslim saja!, atau madzhab saya adalah al
Islam!, padahal seluruh firqah firqah yang ada mengatakan demikian : ar
raafidhiy (as Syii`ah) dan al ibaadhiy (al Khawaarij/Firqatut takfiir) dan al
qadiyaaniy (Ahmadiyyah) dan selainnya dari firqah firqah yang ada!!, jadi apa
yang membedakan kamu daripada mereka keseluruhannya??
Kalau kamu mengatakan : saya muslim mengikuti al Kitab dan as Sunnah juga belum
cukup, karena pengikut pengikut firqah firqah yang sesat juga mengatakan
demikian, baik al `Asyaairah dan al Maaturiidiyyah dan kelompok kelompok yang
lain- keseluruhan pengikut mereka juga menda`wakan mengikuti yang dua ini (al
Kitab dan as Sunnah).
Dan tidak diragukan lagi adanya wujud penisbahan yang jelas lagi terang yang
betul betul membedakan secara nyata yaitu kita katakan : “Ana muslim mengikuti
al Kitab dan as Sunnah di atas pemahaman “as Salafus Shoolih,” atau kita
katakan dengan ringkas : “Ana Salafiy.”
Dan diatas inilah; sesungguhnya kebenaran yang tidak ada penyimpangan padanya
bahwasanya tidak cukup bersandarkan kepada al Kitab dan as Sunnah saja tanpa
menyandarkan kepada methode pemahaman “as Salaf” sebagai penjelas terhadap
keduanya dalam sisi pemahaman dan gambaran, al `ilmu dan al `amal, ad Da`wah
serta al Jihad.
Kita mengetahui bahwasanya mereka-radhiallahu `anhum- tidak pernah fanatik
kepada madzhab tertentu atau kepada pribadi tertentu, tidak terdapat dikalangan
mereka ada mengatakan : “Bakriy (pengikut Abu Bakr), `Umariy (pengikut `Umar),
`Utsmaaniy (pengikut `Utsman), `Alawiy (pengikuti `Ali) radhiallahu `anhum
ajma`iin, bahkan salah seorang dari kalangan mereka apabila memudahkan baginya
untuk bertanya kepada Abu Bakr atau `Umar atau Abu Hurairah dia akan bertanya;
yang demikian itu dikarenakan mereka betul betul yaqin bahwasanya tidak
dibolehkan meng-ikhlashkan “ittibaa`” (pengikutan) kecuali pada seorang saja,
ketahuilah dia adalah Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam; dimana beliau
tidak pernah berbicara dengan hawa nafsunya melainkan wahyu yang diwahyukan
padanya.
Kalau kita terima bantahan para pengeritik ini bahwasanya kita hanya menamakan
diri kita “kami orang muslim”, tanpa menisbahkan kepada “as Salafiyyah”-padahal
nisbah itu merupakan nisbah yang mulia dan benar-, apakah mereka (para pengeritik)
akan melepaskan dari penamaan dengan golongan golongan mereka, atau madzhab
madzhab mereka, atau thoriiqah thoriiqah mereka- yang padahal penisbahan dan
penyadaran itu bukan disyari`atkan dan tidak benar?!!
Artinya : “Cukuplah bagi kalian perbedaan ini diantara kita
Dan setiap bejana akan menuangkan apa apa yang ada padanya.
Dan Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa yang Menunjuki kita ke jalan yang lurus, dan
Dia-Subhaana wa Ta`aalaa- Yang Maha Penolong.
Diterjemahkan oleh Abul Mundzir-Dzul Akmal as Salafiy
Dari Majallah as Ashoolah (no.9/86-90), dengan judul : “Masaail wa Ajwibatuha.”
1997M.