Senin, 04 Februari 2013

Fatwa Lajnah Daimah : Rukun-Rukun Islam (2)

Minggu, 23 Desember 2012 oleh Redaksi | Edit artikel
Oleh : Ustadz Dede Iskandar

1. Melihat Alloh di dunia

Pertanyaan: Apa hukumnya bagi seseorang berkata dengan lisannya bahwasanya dia melihat Rosulullah Shalallohu Alaihi wa Salam dalam keadaan terjaga, dan melihat Maryam menyusui Isa ibnu Maryam Alaihi Salam dalam keadaan terbangun juga, dan melihat  rohnya orang-orang mukmin diatas kuburan dan berkata juga bahwasanya dia melihat Alloh Jalla wa `Ala.

Jawaban: sangkaan melihat Rosullah Shalallohu Alaihi wa Salam setelah wafatnya  dalam keadaan terjaga adalah sangkaan yang bohong, dan begitu juga mengira melihat Maryam dan dia sedang menyusui anaknya dan melihat rohnya orang-orang mukmin diatas kuburan, dan melihat Alloh ta`ala dan semua itu adalah hanya sangkaan yang bohong.

Fatwa lajnah daimah-kumpulan kedua-jilid kedua-hal no:19

2. Apakah jin mengetahui hal-hal yang ghaib?

Pertanyaan: Apakah jin mengetahui hal-hal yang ghaib? Kami berharap penjelasan dari antum dalam waktu yang dekat.

Jawaban: Ilmu tentang hal-hal yang ghaib adalah dari ke khususan rububuyah, maka tidak ada yang mengetahui hal  ghaib mengenai langit dan bumi kecuali hanya Alloh ta`ala.Alloh berfirman

وعنده مفاتح الغيب لا يعلمها إلا هو

“Dan pada sisi Alloh-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri” (QS. Al-An`am:59)

Dan Alloh berfirman:

قل لا يعلم من في السماوات والأرض الغيب إلا الله

Artinya: Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Alloh”  (QS. An-Naml:65)

dan jin tidak mengetahui yang ghaib dengan dalil

فلما قضينا عليه الموت ما دلهم على موته إلا دآبة الأرض تأكل منسأته فلما خر تبينت الجن أن لو كانوايعلمون الغيب ما لبثوا في العذاب المهين
  
Artinya: Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.” (QS. Saba:14)

Barang siapa yang menyangka mengetahui yang ghaib maka dia adalah kafir, dan barang siapa yang mempercayai orang yang mempunyai sangkaan itu maka dia termasuk kafir juga, karena ia membohongi al-qur`an.

Fatwa lajnah daimah-kumpulan kedua-jilid kedua-hal no:6

3. Cinta manusia satu sama lainnya dilandaskan karena cinta kepada Alloh akan tetapi cintanya melampaui batas

Pertanyaan: Sesungguhnya telah menyebar diantara para wanita yang berpegang teguh terhadap agamanya suatu perkara yang kita inginkan untuk mengetahui hukumnya yaitu bahwa sanya salah seorang diantara mereka berlebihan dalam mencintai sahabatnya dan saudara seagamanya melampaui batas dalam mengekpresikan cinta. Dan diantara gambaran melampaui batas adalah dia memakai pakaian seperti yang dipakai sahabatnya, dan mengorbankan dirinya untuk sahabatnya, dan mengukirkan nama sahabatnya di sebagian perhiasannya, banyak mengunjunginya, dan mesti harus menelponnya setiap hari kadang sampai berbicara satu atau dua jam, dan kadang kala menjadi terpengaruh yang tidak karuan kalo tidak melihatnya, dan itu menurut nya adalah sebuah cinta karena Alloh ta`ala. Maka kami berharap dari antum penjelasan hukum tersebut, dan pencerahan tentang hakikat cinta karena Alloh dari cinta yang lainnya. Karena sesungguhnya apa-apa yang telah disebutkan tadi memang terjadi di masyarakat perempuan?

Jawaban: cinta karena Alloh adalah diantara sisi iman yang paling kuat, dan dua orang yang saling mencintai karena Alloh, maka Alloh akan melindunginya pada hari yang ada perlindungan kecuali dari Alloh swt,sebagai mana telah di tetapkan dari Rosulullah saw, dan cinta karena Alloh akan menjadikan sebagai amal yang saleh, karena kecintaan bagi orang-orang yang Alloh cintai diantara manusia yaitu mereka orang-orang yang saleh,serta cinta karena Alloh sebabnya adalah seseorang itu melaksanakan hak-hak Alloh, dan hak-hak para hambanya, berpegang teguh pada syariat Alloh ta`ala, bukan karena mencari perhitungan bukan pula untuk keturunan, bukan juga ketampanan, bukan karena harta, dan bukan juga selainnya yang ada manfaat keduniawiyan, dan dari cirri-ciri yang benar kecintaan ini: bahwa sanya apabila orang yang dicintai itu terjerumus pada sesuatu yang bertentangan atas apa yang diperintahkan Alloh maka akan berkuranglah rasa cinta itu sesuai dengan penyelewengannya itu. Dan tergantikan asalnya cinta menjadi benci, marah karena Alloh ta`ala, dan merasa agung terhadap apa yang di larangnya. Adapun al-ghuluw(berlebih-lebihan)dalam mencintai seseorang, dan terikatnya hati oleh karenanya, sehingga tidak bisa berlepas diri darinya, dan kagum terhadapnya. Maka ini bukan lah cinta berlandaskan karena Alloh, tetapi itu adalah kurang dalam ketauhidannya, dan melirik pada hati selain cinta kepada Alloh, dan perantara kepada sesuatu yang diharamkan Alloh swt dari hal-hal yang keji, dan itu adalah perkara yang mungkar wajib untuk meninggalkannya dan waspada terhadapnya.

Fatwa lajnah daimah-kumpulan kedua-jilid pertama-hal no:471

4. Ilmu yang terdapat dalam diri manusia

Pertanyaan: Apakah tidak ada yang mengetahui apa yang terdapat dalam jiwa manusia kecuali Alloh?
Jawaban: Tidak ada yang mengetahui sesuatu yang terdapat dalam diri manusia dan apa yang tersembunyi dalam hati dari perasaan, bisikan dan hal-hal yang rahasia kecuali Alloh azza wajalla, Alloh berfirman:

(فإن تجهر بالقول فإنه يعلم السر وأخفى)

Artinya: “Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi.” (QS. Thaha:7)

Dan Alloh berfirman:
(أوليس الله بأعلم بما في صدور العالمين)

Artinya: “Bukankah Alloh lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia?” (QS. Al-Ankabut:10)

(والله يعلم ما تسرون وما تعلنون)

Artinya: Dan Alloh mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan” (QS. An-Nahl:19)
(يعلم ما في السموت والأرض ويعلم ما تسرون و ما تعلنون والله عليم بذات الصدور)

Artinya: “Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan yang kamu nyatakan. Dan Alloh Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Taghobun:4)
(وربك يعلم ما تكن صدورهم وما يعلنون)

Artinya: Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan” (QS. Al-Qhoshos:69)

Maka barangsiapa yang menyangka bahwasanya dia mengetahui apa-apa yang terdapat dalam diri manusia dan apa-apa yang tersembunyi dalam hati mereka sungguh telah mencabut kekuasaan Alloh dalam hal rububiyah, dan itu merupakan kekufuran yang sangat besar maka wajib untuk mewaspadainya.

Fatwa lajnah daimah-kumpulan kedua-jilid kedua-hal no:9

5.     Waktu biologis

Pertanyaan: Saya mengabarkan bahwasanya telah tersebar iklan di salah satu koran yang berkenaan dengan waktu yang disebut “saah biolojiah” atau waktu biologis, terdapat di iklan bahwasanya waktu biologis menunjukan pada kesuburan, membantu anda untuk mengatur keluarga anda dan untuk mendapatkan hasil pada jenis tertentu sesuai yang diinginkan dan ini secara kebetulan terdapat hadits dari Rosulullah Shalallohu alaihi wa Salam: “Apabila sperma laki-laki lebih dominan dibanding sperma wanita maka anaknya laki-laki, dan apabila sperma wanita lebih dominan dibanding sperma laki-laki maka yang akan keluar adalah wanita.”

Pertanyaan wahai syaikh mufti: apakah dalam perumpamaan ini bertentangan dengan syariat? Dan apakah boleh menggunakan waktu yang dimaksud? Dan apakah benar kemungkinannya pada saat itu untuk memilih jenis yang diinginkan? Saya berharap anda dapat memberikan faedah kepada saya, semoga Alloh menyertaimu atas segala kebaikan anda.
Jawaban: tidak boleh menggunakan waktu biologis ini untuk maksud yang telah disebutkan dan jangan mempercayainya, karena janin itu adanya dalam rahim, dan jenis laki-laki maupun jenis perempuan itu merupakan ilmu gaib yang tidak seorang pun dapat mengetahuinya kecuali Alloh Subhanahu wa Ta’ala, sampai malaikat yang bertugas menjaga rahim pun bertanya kepada tuhanNya ketika meniupkan ruh kedalamnya: laki-laki atau perempuan? Sampai akhir hadis, dan sungguh telah Alloh Ta`ala berfirman

(يخلق ما يشاء يهب لمن يشاء إناثا ويهب لمن يشاء الذكور. أو يزوجهم ذكورنا وإناثا ويجعل من يشاءعقيما إنه عليم قدير)
Artinya:  “Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa”. (QS. Az-Zukhruf:49-50)

Fatwa lajnah daimah-kumpulan kedua-jilid kedua-hal no:14

Fatwa Lajnah Daimah : Rukun-Rukun Islam (1)

Sabtu, 22 Desember 2012 oleh Redaksi | Edit artikel
Oleh : Ustadz Dede Iskandar

1. Makna mengetahui Islam dengan dalil-dalil

Pertanyaan: apa arti perkataan pengarang dalam hasyiah (catatan kaki) ushul tsalatsah “wajib mengetahui islam dengan dalil-dalil”. Pengarang mengatakan masih dalam satu catatan kaki: Alloh telah mengutus kepada kita seorang Rosul, barang siapa yang mentaatinya maka akan masuk surga, dan barang siapa yang mengingkarinya maka akan masuk neraka. Apakah maksud disini untuk taat kepada Rosul apakah tentang Tauhid Rububiyah.

Jawaban: makna perkataan pengarang mengenai wajib mengetahui Islam dengan dalil-dalilnya yaitu bahwa kewajiban bagi seorang mukallaf (orang yang dibebani hukum syar`i) untuk mempelajari Islam beserta rukun-rukunnya dari sumbernya yang asli yaitu: kitab alkarim (Al-Qur`an), dan Sunah asyarifah. Kemudian mempelajari tauhid dan apa-apa yang masih kurang dari kesempurnaan tauhid dan apa-apa yang bertentangan dengan tauhid itu, kemudian mempelajari tentang shalat beserta syarat-syaratnya, dan yang menjadi rukun-rukun shalat, dan wajib shalat serta sunah-sunahnya baik itu dari Al-Qu`ran, maupun perkataan-perkataan Rosulullah Shalallohu Alaihi wa Salam, perbuatannya dan ketetapan-ketetapannya. Dan ini adalah peninggalan rukun-rukun islam dan syariat-syariatnya.

Adapun maksud dari perkataan ”Alloh telah mengutus kepada kita seorang Rosul maka barang siapa yang mentaatinya akan masuk surga dan bagi yang mengingkarinya akan masuk neraka” bahwa sesungguhnya Alloh Azza wa Ala mengutus Muhammad Shalallohu Alaihi wa Salam dengan tauhid dan peninggalan dari syariat agama maka barang siapa yang menjawab dan memeluk islam serta melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Alloh kepadanya, dan menjauhi dari apa-apa yang di haramkan kepadanya niscaya akan masuk surga. Namun barang siapa yang berpaling darinya dan berbuat maksiat kepada RosulNya dan belum sempat masuk kedalam agama Alloh maka baginya adalah neraka. Rosulullah saw bersabda;

(كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى, قالوا: ومن يأبى يا رسول الله؟ قال: من أطاعني دخل الجنة, ومن
عصاني فقد أبى)

Artinya: “Setiap umatku akan masuk surga kecuali yang berpaling, mereka berkata siapa yang tidak berpaling ya Rosulullah? Rosulullah saw berkata: barangsiapa yang mentaatiku akan masuk surga dan barang siapa yang bermaksiat kepadaku dia sesungguhnya telah berpaling.”

Fatwa lajnah daimah-kumpulan kedua-jilid kedua-hal no:25

2. Tauhid Rububiyah

Pertanyaan: Apa makna Tauhid Rububiyah?

Jawaban: Makna Tauhid Rububiyah adalah mengesakan Alloh Jalla wa ‘Ala dengan apa yg dikerjakannya: seperti menciptakan, membuat sesuatu menjadi ada, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan.
Dan makna Tauhid Al-uluhiyah adalah mengesakan Alloh dengan apa yang lakukan oleh hamba-hambaNya seperti do`a, dan meminta pertolongan dan bantuan, rasa takut, pengharapan, tawakkal, dan semua macam-macam ibadah.

Fatwa lajnah daimah-kumpulan kedua-jilid pertama-hal no:6

3. Cara terbaik mendakwahkan tauhid kepada manusia

Pertanyaan: Apa cara yang terbaik untuk mendakwahkan manusia kepada tauhid dan waspada terhadap syirik?
Jawaban: cara yang terbaik untuk berdakwah adalah yang sebagaimana Alloh sebutkan dalam al-qur`an

(ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن)

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”  (QS. An-Nahl:125)

Dan dalam ayat yang lain Alloh jg berfirman

(قل هذه سبيلى أدعوا إلى الله على بصيرة أنا ومن اتبعني و سبحان الله وما أنا من المشركين)

Artinya: Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Alloh, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yusuf:108)

Fatwa lajnah daimah-kumpulan kedua-jilid kedua-hal no:33

4. Jalan-jalan dalam menguatkan iman

Pertanyaan: Apa yang menjadi jalan untuk menguatkan iman dalam menghadapi fitnah yang bertubi-tubi dari televisi, dan di jalan-jalan, serta dari masyarakat barat?

Jawaban: jalan-jalan untuk menguatkan iman banyak sekali diantaranya; menjaga ketaatan kepada Alloh, dan menjauhi dari segala yang diharamkan, dan duduk bersama orang-orang saleh, dan memberbanyak membaca Al-Qur`an dan memahaminya, membaca hadis-hadis Rosul, dan selalu membiasakan untuk berdzikir kepada Alloh, dan gemar berdo`a serta merasa faqir kepada Alloh.

Fatwa lajnah daimah-kumpulan kedua-jilid kedua-hal no:34

5. Manusia dilahirkan diatas fitrah tauhid

Pertanyaan: Apakah agama yang karenanya dilahirkan manusia adalah agama yang hak?
Jawaban: manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah tauhid, seperti dalam perkataan Nabi Shalallohu Alaihi wa Salam ”setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka tergantung kedua orang tuanya mau menjadikannya seorang yahudi, atau nasrani, atau beragama majusi”.
Akan tetapi fitrah ini tidak cukup hanya dengan mengetahui perincian tauhid saja, dan tata cara beribadah kepada Alloh Jalla wa `Ala, tetapi mesti dengan belajar dan mempelajari ilmu agama secara mendalam, dan berittiba (mengikuti) kepada Rosul Shalallohu Alaihi wa Salam dan taat kepadanya, karena beliau adalah orang yang menyampaikan dari TuhanNya tentang apa-apa yang dibutuhkan oleh hambanya dari perincian-perincian permasalahan mengenai agama mereka dan peribadahan mereka, dan dengan itu akan menjadi seorang muslim yang telah mengetahui ibadah yang karenanya diciptakanlah manusia, sebagai mana Alloh berfirman:

(وما خلقت الجن و الإنس إلا ليعبدون)

Artinya: “Dan tidak lah aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk menyembahku” (QS. Adz-Dzariyat:56)

Fatwa lajnah daimah-kumpulan kedua-jilid kedua-hal no:34

6. Makna kalimat Islam

Pertanyaan: Dalam adat kebiasaan dinamakan agama-agama itu berdasarkan nama-nama para nabinya, akan tetapi Islam menyelisihi akan hal itu, maka apa makna kalimat islam?

Jawaban: Al-Islam adalah berserah diri kepada Alloh dengan tauhid, membela agama Alloh dengan penuh ketaatan, serta berlepas diri dari kesyirikan dan dari para penyembah kemusyrikan.

Dan tidaklah kita mengetahui suatu agama yang dinamai dengan nama nabi nya kecuali agama nasrani yang telah diselewengkan, maka bahwasanya setelah diselewengkan dinamai pula dengan agama Al-Masih ibn Maryam Alaihi Salam, dan itu adalah penamaan yang salah, tapi kadang-kadang sering dinisbahkan suatu agama kepada nabinya, maka dikatakan agama musa, agama isa, dan agama Muhammad Shalallohu Alaihi wa Salam, sebagaimana dikatakan: Islam adalah agamanya fulan.

Fatwa lajnah daimah-kumpulan kedua-jilid pertama-hal no:39

7. Perumpamaan kita bersaksi kepada Alloh dan bersaksi kepada Rosulnya

Pertanyaan: Dalam kitab maarijul qobul pengarang kitab menyebutkan dalam salah satu paragraph setelah menerangkan aqidah Ahlu Sunah dan orang-orang yang menyelisihinya. Beliau berkata: dan kita bersaksi kepada Alloh dan bersaksi kepada Rosulnya, apakah seperti dalam ibarat ini ada suatu masalah?

Jawaban: ini adalah ibarat yang salah dari syaikh semoga Alloh mengampuninya dan memberikan rahmat kepadanya, dan tidak boleh kepada siapa saja untuk bersaksi kepada Rosul atas sesuatu yang dilakukannya setelah wafatnya beliau, karena beliau tidak mengetahui sesuatu yang ghaib dan tidak mengetahui  apa-apa yang telah dilakukan umatnya setelah beliau wafat. Oleh karena itu telah menjadi ketetapan bagi beliau Rosulullah Shalallohu Alaihi wa Salam bersabda: manusia diusir  dari golongan sahabatku dari telaga pada hari kiamat, maka aku katakan: sahabatku. Maka dikatakan: sesungguhnya kamu tidak mengetahui apa yang telah terjadi setelahku.

Fatwa lajnah daimah-kumpulan kedua-jilid kedua-hal no:17

HUKUM QASIDAH BURDAH: FATWA LAJNAH DAIMAH ARAB SAUDI


SOALAN:

ما حكم الكتاب المسمى بـ[البردة المديح] التي تستعمل في الدعاء في وطننا، وهل هذا الكتاب إذا قرأته تثاب أم لا، وهل قراءة هذا الكتاب تصل إلى النبي صلى الله عليه وسلم كما يقول بعض الناس أم لا؟

Maksudnya: "Apakah hukum Kitab yang dinamakan seagai al-Burdah al-Madih (Qasidah Burdah) yang digunakan sebagai doa di negera kami, adakah kitab ini jika aku membacanya mendapat pahala atau tidak? Adakah membaca kitab ini (pahalanya) akan sampai kepada Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam seperti yang dikatakan sebahagian manusia atau tidak?"

JAWABAN:

أكثر من قراءة القرآن الكريم ومن ذكر الله بما ثبت من الأذكار عن النبي صلى الله عليه وسلم، واستغن بذلك عن قراءة البردة ونحوها، فإن التعبد بقراءتها وقراءة أمثالها بدعة محدثة،

Maksudnya: "Banyakkan membaca al-Quran al-Karim dan Zikrullah dengan apa yang tsabit daripada zikir-zikir daripada Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam dan cukuplah dengan perkara itu daripada membaca Burdah dan seumapamanya kerana berta'abbud dengan membacanya (Burdah) dan seumapamanya adalah Bid'ah yang diada-adakan"

وقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: «من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد» وفي رواية «من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد»

Maksudnya: "dan telah tsabit daripada Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam bahawa baginda bersabda: "Barangsiapa yang merekacipta dalam agama kami ini apa yang tidak berasal daripadanya maka ia tertolak" dan dalam riwayat yang lain: "barangsiapa yang beramal dengan amalan yang bukan berasal daripada agama kami maka ia tertolak". [HR al-Bukhari & Muslim]

وعلى هذا فلا ثواب في قراءتها، بل في بعض أبياتها شرك أكبر مثل

Maksudnya: "oleh itu tidak ada pahala pada membacanya bahkan dalam sebahagian baitnya mengandungi Syirik Akbar seperti:

 يا أكرم الخلق ما لي من ألوذ به ... سواك عند نزول الحادث العمم

Maksudnya: "Wahai makhluk yang paling mulia siapakah lagi tempat aku berlindung selain dari kamu ketika berlakunya bala bencana".
إلى أن قال:
إن لم تكن في معادي آخذا بيدي ... فضلا وإلا فقل يا زلة القدم
فإن من جودك الدنيا وضرتها ... ومن علومك علم اللوح والقلم.

Maksudnya: "Sehingga katanya:

"Jika tiada engkau di akhirat nanti membantu aku maka katakanlah: sungguh aku telah kecelakaan"
Sesungguhnya termasuk kemurahan engkau adalah Dunia dan madunya (Akhirat) dan daripada Ilmu kamu adalah Ilmu Lauh dan Qalam".

Lajnah Tetap untuk Kajian Ilmiah dan Fatwa Arab Saudi:

Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Timb. Ketua: Abdul Razzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudyan, Abdullah bin Qu'ud

FATWA NO. 5782

Minggu, 03 Februari 2013

Seputar masalah sholat (Luruskan Shaf)


Penulis: Abu Rasyid Ash-Shinkuaniy
.: :.
Luruskan Shaf-Shaf Kalian!

Kedudukan dan Pentingnya Shalat
Rukun Islam yang paling utama setelah persaksian dengan dua kalimat syahadat adalah mendirikan shalat. Bahkan shalat adalah amalan yang pertama kali akan dihisab di hari kiamat nanti. Apabila baik shalatnya, niscaya akan baik pula seluruh amalan yang lainnya akan tetapi sebaliknya apabila shalatnya rusak/jelek, niscaya akan rusak pula amalan yang lainnya.

Untuk itu sangatlah wajib bagi kita untuk memperhatikan permasalahan shalat, di mulai dari rukun-rukunnya, syarat wajibnya, thaharahnya dan lainnya yang berkaitannya dengan shalat.

Pentingnya Meluruskan Shaf & Ancaman Keras bagi yang Tidak Meluruskannya
Dan di antara hal yang berkaitan dengan shalat yang harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan adalah permasalahan lurus dan rapatnya shaf (barisan dalam shalat).
Mengapa demikian? Karena ancamannya pun tidak sembarangan, yakni ancaman bagi yang tidak meluruskan shaf.

Dijelaskan di dalam hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhariy dan Al-Imam Muslim dari shahabat Abu Abdillah An-Nu'man bin Basyir, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

"Benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian atau (kalau tidak), maka sungguh Allah akan memalingkan antar wajah-wajah kalian (menjadikan wajah-wajah kalian berselisih)." (HR. Al-Bukhariy no.717 dan Muslim 436))
Dalam satu riwayat milik Al-Imam Muslim disebutkan,

"Bahwasanya Rasulullah biasa meluruskan shaf-shaf kami seakan-akan beliau sedang meluruskan anak panah sehingga apabila beliau melihat bahwasanya kami telah memahami hal itu, yakni wajibnya meluruskan shaf (maka beliaupun memulai shalatnya, pent). Kemudian pada suatu hari beliau keluar, lalu berdiri sampai hampir-hampir beliau bertakbir untuk shalat, tiba-tiba beliau melihat seseorang yang menonjol sedikit dadanya, maka beliaupun bersabda, "Wahai hamba-hamba Allah, benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian atau (kalau tidak) maka Allah sungguh akan memalingkan antar wajah-wajah kalian."
Lihatlah wahai saudaraku, kaum muslimin, sabda beliau yang mulia, yang mana beliau shallallahu 'alaihi wa sallam telah Allah terangkan sifatnya kepada orang-orang beriman,
"Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan, kebaikan dan keselamatan) bagi kalian, dan amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman." (At-Taubah:128)

Tidaklah beliau bersabda demikian kecuali karena menginginkan kebaikan bagi ummatnya, kaum muslimin.
Tidak ada satu kebaikan pun yang akan mendekatkan ke jannah kecuali telah beliau tunjukkan kepada ummatnya agar melakukannya dan tidak ada satu kejelekan pun yang akan mengantarkan ke neraka kecuali telah beliau larang ummatnya agar menjauhinya.

Di dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menekankan agar meluruskan shaf di dalam shalat dengan sabdanya, "Benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian atau (kalau tidak), maka sungguh Allah akan palingkan antar wajah-wajah kalian."


"Benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian" dalam kalimat ini terdapat tiga penekanan dan penguat yaitu: sumpah yang diperkirakan, lam taukid dan nun taukid.

Demikian juga kalimat setelahnya, "atau sungguh Allah akan palingkan antar wajah-wajah kalian", mengandung tiga penekanan dan penguat: sumpah, lam taukid dan nun tukid, yakni jika kalian tidak meluruskan shaf, maka sungguh Allah subhanahu wa ta'ala akan memalingkan antar wajah-wajah kalian.

Makna Berpaling/Berselisihnya Wajah
Para ulama berbeda pendapat tentang makna "berpalingnya atau berselisihnya wajah".
Sebagian mereka berpendapat, bahwasanya maknanya adalah sungguh Allah subhanahu wa ta'ala akan memalingkan antar wajah-wajah mereka dengan memalingkan sesuatu yang dapat dirasakan panca indera, yaitu dengan memutar leher, sehingga wajahnya berada dibelakangnya, dan Allah subhanahu wa ta'ala Maha Mampu atas segala sesuatu.

Dialah Allah 'Azza Wa Jalla yang telah menjadikan sebagian keturunan Nabi Adam (yaitu Bani Israil) menjadi kera, di mana Allah subhanahu wa ta'ala berfirman kepada mereka: "Jadilah kalian kera yang hina" (QS. Al-Baqarah:65) maka jadilah mereka kera.

Maka Allah subhanahu wa ta'ala mampu untuk memutar leher manusia sehingga wajahnya berada di punggungnya, dan ini adalah siksaan yang dapat dirasakan panca indera.

Adapun ulama yang lain berpendapat, bahwa yang dimaksudkan perselisihan di sini adalah perselisihan maknawiyyah, yakni berselisihnya hati, karena hati itu mempunyai arah, maka apabila hati itu bersepakat terhadap satu arah, satu pandangan, satu aqidah dan satu manhaj, maka akan didapatkan kebaikan yang banyak. Akan tetapi sebaliknya apabila hati berselisih maka ummat pun akan berpecah belah.
Sehingga yang dimaksud perselisihan dalam hadits ini adalah perselisihan hati, dan inilah tafsiran yang paling shahih/benar, karena terdapat dalam sebagian lafazh hadits, "atau sungguh Allah akan palingkan antar hati-hati kalian."

Dengan alasan inilah, maka yang dimaksud dengan sabda beliau, "atau sungguh Allah akan palingkan antar wajah-wajah kalian", yakni cara pandang kalian, yang hal ini terjadi dengan berselisihnya hati.

Wajibnya Meluruskan Shaf
Bagaimanapun juga, di dalam hadits ini terdapat dalil akan wajibnya meluruskan shaf, dan bahwasanya wajib atas para makmum untuk meluruskan shaf-shaf mereka, dan kalau mereka tidak meluruskan shafnya, maka sungguh mereka telah mempersiapkan diri-diri mereka untuk mendapatkan siksaan dari Allah subhanahu wa ta'ala, wal'iyaadzu billaah.

Pendapat ini yaitu wajibnya meluruskan shaf adalah pendapat yang benar, sehingga wajib atas imam-imam shalat agar memperhatikan shaf, apabila didapatkan padanya kebengkokan atau ada yang sedikit maju atau mundur, maka para imam tersebut harus memperingatkan mereka agar meluruskan shafnya.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun kadang-kadang berjalan di antara shaf-shaf untuk meluruskannya dengan tangannya yang mulia dari shaf yang pertama sampai terakhirnya.
Ketika manusia semakin banyak di masa khilafah 'Umar Ibnul Khaththab, 'Umar pun memerintahkan seseorang untuk meluruskan shaf apabila telah dikumandangkan iqamah. Apabila orang yang ditugaskan tersebut telah datang dan mengatakan, "Shaf telah lurus" maka 'Umar pun bertakbir untuk memulai shalat.

Demikian juga hal ini dilakukan oleh 'Utsman bin 'Affan, beliau menugaskan seseorang untuk meluruskan shaf-shaf manusia, maka apabila orang tersebut datang dan mengatakan, "Shaf telah lurus", beliaupun bertakbir untuk memulai shalat.
Semuanya ini menunjukkan atas perhatian yang tinggi dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Khulafa`ur Rasyidin dalam masalah meluruskan shaf.

Sebagian Kaum Muslimin Susah Diatur
Akan tetapi, sungguh amat disesalkan, sekarang engkau akan dapati para makmum tidak mempedulikan masalah meluruskan shaf, yang satu agak maju ke depan, yang satu lagi agak mundur ke belakang, tidak peduli akan lurusnya shaf.
Kadang-kadang mereka lurus pada raka'at pertama, kemudian ketika sujud muncullah kesenjangan, yang satu agak maju dan yang lain agak ke belakang, dan mereka tidak meluruskan shaf pada raka'at kedua, bahkan mereka tetap seperti itu tidak meluruskan shaf di raka'at kedua dan seterusnya, ini adalah kesalahan.

Yang lebih mengherankan dari semuanya itu adalah ketika ada seseorang yang paham akan wajibnya meluruskan shaf, dia bertindak sebagai imam, maka diapun melaksanakan petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu memeriksa para makmum dan memerintahkan mereka untuk meluruskan shaf, maka engkau akan dapati sebagian makmum tersebut enggan, tidak mau lurus dan rapat. Bahkan ada yang menonjol maju ke depan atau mundur ke belakang, ataupun kaki-kaki mereka tidak rapat antara satu dengan lainnya. Dalam keadaan mereka sudah mengetahui hadits di atas. Wallaahul Musta'aan.

Semoga Allah Tabaraka Wa Ta'ala menunjuki semua kaum muslimin agar menjadi orang-orang yang taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana sifat orang-orang mukmin yang baik adalah sami'naa wa atha'naa (kami mendengar dan kami taat), bukan sami'naa wa 'ashainaa (kami mendengar dan kami melanggarnya).
Yang jelas wajib bagi imam maupun para makmum untuk meluruskan dan merapatkan shaf.

Bila Hanya Ada Imam & Seorang Makmum
Kalau ada yang bertanya, "Apabila di sana hanya ada imam dengan seorang makmum saja, apakah imam maju sedikit ke depan ataukah sejajar dengan makmum?"

Jawabannya adalah hendaklah imam sejajar dengan makmum, imam berada di sebelah kiri sedangkan makmum di sebelah kanan imam, karena apabila hanya ada imam dan seorang makmum saja, maka berarti shaf cuma ada satu, yang tidak mungkin makmum sendirian di belakang imam, bahkan yang benar adalah mereka berdua berada dalam satu shaf yaitu sang imam sejajar dengan makmum. Dengan berada dalam satu shaf akan terjadi kelurusan dalam shaf.

Dalilnya adalah ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat malam, datanglah Ibnu 'Abbas berdiri di sebelah kiri beliau, maka beliau pun menarik Ibnu 'Abbas dan menjadikannya tepat di sebelah kanan beliau. (Muttafaqun 'alaihi)

Hal ini berbeda dengan apa yang dikatakan oleh sebagian ulama, "Bahwasanya hendaklah imam maju sedikit ke depan", karena pendapat ini tidak ada dalilnya, bahkan justru dalil menyelisihi pendapat ini, yaitu hendaklah antara imam dan makmum sejajar apabila mereka hanya berdua.

Jangan Ada yang Menonjol Dadanya!
Kemudian dalam riwayat yang lain disebutkan, "Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa meluruskan shaf-shaf kami (para shahabat) seakan-akan meluruskan anak panah." Maka jadilah shaf mereka benar-benar lurus dengan sempurna, sehingga tidak ada yang maju ataupun mundur walaupun sedikit.

Beliau biasa meluruskan shaf seperti meluruskan anak panah, sehingga apabila beliau melihat bahwasanya para shahabatnya telah memahaminya, yakni mereka telah paham dan tahu bahwasanya shaf harus lurus, beliaupun memulai shalatnya.
Kemudian pada suatu hari beliau keluar untuk melaksanakan shalat, tiba-tiba beliau melihat seseorang yang menonjol dadanya, maka beliaupun besabda, "Wahai hamba-hamba Allah, benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian atau (kalau tidak) maka sungguh Allah akan palingkan antar wajah-wajah kalian."
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian" sebabnya adalah semata-mata hanya karena beliau melihat seseorang menonjol dadanya, yaitu dada orang tersebut menonjol sedikit.

Bagaimana kalau beliau melihat shaf-shaf yang ada sekarang? Yang satu ke depan, yang satu lagi ke belakang, shaf mereka bengkok, tidak lurus dan tidak rapat? Bisa kita bayangkan apa yang akan diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika melihat keadaan seperti itu?

Imam Shalat Hendaklah Memeriksa Shaf
Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwasanya di antara petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bahwa beliau senantiasa memeriksa shaf, meluruskan dan merapatkan shaf. Kalau masih ada yang belum lurus atau belum rapat maka beliaupun meluruskannya bahkan mengancam -sebagaimana kisah di atas- kepada orang yang maju sedikit dari shafnya dengan ancaman ini, "Benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian atau (kalau tidak) maka sungguh Allah akan memalingkan antar wajah-wajah kalian."

Petunjuk ini harus diteladani oleh para imam shalat agar memeriksa, mengatur dan meluruskan shaf para makmum.
Kesimpulannya adalah wajib atas kita untuk menerangkan masalah ini kepada imam-imam masjid dan demikian juga kepada para makmum agar mereka memperhatikan perkara yang sangat berbahaya ini sehingga mereka benar-benar meluruskan dan merapatkan shafnya di dalam shalat.

Semoga Allah subhanahu wa ta'ala selalu membimbing kita kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Wallaahu A'lam.

Disadur dari Syarh Riyaadhush Shaalihiin hal.453-454 cetakan Maktabah Ash-Shafaa dengan beberapa tambahan dan perubahan.

Abu Rasyid Ash-Shinkuaniy

SIAPAKAH SALAF ?‎


Penulis : Asy-Syaikh Al-‘Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi


Segala puji bagi ALLAH dan shalawat serta salam kepada Rasulullah, keluarga dan para Shahabatnya.

Wa ba’du :

Sesungguhnya saya diminta untuk menyampaikan sepatah kata melalui telpon ke Inggris dengan judul SIAPAKAH SALAF?

Salaf adalah orang-orang yang ALLAH telah memerintahkan kita untuk berpegang dengan Al-Qur`ân dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman mereka.

Saya katakan (bahwa) kata salaf (secara bahasa, ed.) berlaku pada setiap orang yang telah mendahului anda.

Al-Jauhari berkata dalam kamus Mukhtârus-Shihâh hal. 331 : “Kata salafa yaslufu, dengan men-dhammah (lam mudhâri’)-nya, salafan, dengan dua fathah adalah yang telah lalu. Kaum sullaf adalah kaum terdahulu. Salaf seseorang adalah kakek moyangnya terdahulu. Dan bentuk jamak (kata salaf) adalah aslaf dan sullaf.” -Selesai-.

Di dalam hadits tentang ucapan salam kepada penghuni kubur bagi yang melewatinya, Nabi shollallâhu ‘alaihi wa sallam mengajarkan
umatnya untuk mengucapkan :

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ المُسْلِمِيْنَ وَالمُؤْمِنِيْنَ أَنْتُمْ

سَلَفُنَا وَنَحْنُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ يَغْفِرُ اللهُ لَنَا وَلَكُمْ


“Semoga keselamatan bagi kalian para penghuni kubur dari kalangan muslimin dan mukminin. Kalian adalah salaf kami dan kami akan menyusul kalian. Semoga ALLAH mengampuni (-dosa-dosa-)
kami dan (-dosa-dosa-) kalian.”

Sabda Nabi Shallahu 'Alaihi Wasallam ("Kalian adalah salaf kami.."),
artinya: kalian adalah pendahulu kami.

ALLAH ‘Azza wa Jalla telah mensifati kaum mukminin, bahwa mereka adalah orang-orang yang mendoakan kaum mukminin yang telah mendahului mereka dengan (membawa) keimanan, ketika ALLAH membagi mereka menjadi tiga golongan -di dalam surat Al-Hasyr-.
ALLAH berfirman:

(Artinya:(Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (-karena-) mencari karunia dari ALLAH dan keridhaan (-Nya-)…) (Al-Hasyr : 8)

Kemudian ALLAH subahanahu wa ta’ala berfirman :

(Artinya:Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (-kedatangan-) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin).)(Al-Hasyr : 9)

Golongan ke-tiga adalah yang datang setelah mereka, sebagaimana yang ALLAH sifatkan mereka melalui firman-Nya :

(Artinya: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, berilah ampunan kepada kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Dan janganlah Engkau biarkan kedengkian di dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”) (Al-Hasyr : 10)
Al-Baghawi telah menukil dari Ibnu Abi Laila bahwa dia berkata :

“Manusia terbagi menjadi tiga golongan, yaitu Muhajirin dan orang-orang yang telah tinggal di Madinah dan beriman sebelum (-kedatangan-) mereka (kaum Muhajirin), (-saya berkata : "yaitu Anshar." Kemudian dia melanjutkan-) serta orang-orang yang datang setelah mereka. Maka bersungguh-sungguhlah agar anda tidak keluar dari ketiga golongan ini.”

Syaikh Al-‘Allâmah As-Si’di berkata -setelah menafsirkan dua ayat tentang kaum Muhajirin dan Anshar- :

“Keduanya adalah golongan yang utama lagi shaleh. Mereka adalah para Shahabat yang mulia dan para Imam dan tokoh-tokoh yang telah mendapatkan (-keistimewaan-) pertama. Keutamaan dan kedudukan mulia yang membuat mereka melampaui orang yang datang setelahnya, sehingga dengan itu mereka juga mencapai (-kedudukan-) orang-orang sebelumnya. Merekapun menjadi panutan kaum mukminin, para tokoh muslimin, dan para pimpinan orang-orang yang bertakwa.

Oleh sebab itu ALLAH menyebutkan bahwa di antara orang-orang yang akan datang terdapat orang-orang yang mengikuti mereka. ALLAH berfirman, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka.” Yaitu setelah kaum Muhajirin dan Anshar, mereka berdoa dalam rangka menasehati diri sendiri dan selain mereka dari seluruh muslimin :

(Artinya:“Ya Rabb kami, berilah ampunan kepada kami dan saudara- saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.”)

(-masih-) As-Si’di berkata : Ini adalah doa yang mencakup seluruh kaum mukminin dari generasi pertama para Shahabat, sebelum, dan setelah mereka. Dan ini termasuk keutamaan keimanan, bahwa kaum mukminin saling memberikan manfaat dan saling mendoakan dengan sebab kesatuan iman -yang mengharuskan adanya ikatan ukhuwah antar sesama mukminin- , yang di antara cabang (-ikatan ukhuwah itu-) adalah saling mendoakan dan saling mencintai antara yang satu dengan lainnya.

Oleh sebab itu ALLAH menyebutkan penghapusan kedengkian dari hati secara keseluruhan, sedikit, dan banyaknya di dalam doa ini, di-mana jika kedengkian telah hilang, maka tetaplah kebalikannya, yaitu kecintaan, loyalitas, nasehat, dan semisalnya -yang merupakan hak-hak kaum mukminin-.

Kemudian ALLAH mensifati generasi yang hidup setelah Shahabat dengan keimanan, sebab doa mereka ("…saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu…") menunjukkan kebersamaan mereka dalam keimanan. Dan mereka mengikuti keyakinan dan pokok-pokok keimanan para Shahabat. Mereka adalah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah -tiada yang yang benar menyandang sifat ini secara sempurna kecuali mereka-.

Dan ALLAH mensifati mereka dengan pengakuan mereka terhadap dosa-dosa, permohonan ampun darinya, saling memohonkan ampun, serta kesungguhan mereka untuk menghilangkan kedengkian dan dendam terhadap sesama saudaranya yang beriman. Sebab doa mereka mengandung konsekuensi sebagaimana yang telah kami sebutkan dan mengandung sikap saling mencintai satu sama lainnya, cinta terhadap saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, serta memberikan nasehat kepadanya dalam keadaan ada atau tidak, hidup atau mati.

Kemudian mereka menutup doanya dengan menyebut dua nama yang mulia yang menunjukkan kesempurnaan rahmat-ALLAH, kasih sayang yang mendalam, dan kebaikan-Nya kepada mereka, yang intinya -bahkan yang termulia- berupa taufik kepada mereka untuk menunaikan hak-hak-Nya dan hak-hak hamba-Nya.

Merekalah tiga golongan umat ini. Yaitu kaum Muhajirin, Anshar - mereka adalah para Shahabat Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa sallam-, kemudian generasi mukminin setelah mereka. Masing-masing mereka berhak mendapatkan fai’ yang bisa dialokasikan untuk kemaslahatan Islam.”

Saya (syaikh Ahmad An-Najmi) berkata : Dan di antara yang menunjukkan (keharusan) generasi mukminin sekarang meneladani para Shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah celaan ALLAH ‘Azza wa Jalla -terhadap yang meninggalkan jalan para Shahabat- di dalam firman-Nya :

(Artinya:Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (-yaitu para Shahabat, karena ayat ini turun pada zaman mereka-), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.) (An- Nisaa` : 115)

Dan ALLAH telah memerintahkan melalui lisan Rasul-Nya untuk mengikuti sunnahnya dan sunnah Khulafâ` Ar-Râsyidîn yang telah mendapatkan petunjuk -setelah beliau-, sebagaimana di dalam hadits Al-Irbâdh bin Sâriyah :

“Wajib bagi kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafâ` Ar-Râsyidîn yang telah mendapatkan petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hati kalian dari perkara-perkara baru (- yang diada-adakan-) dalam agama ini…”

Dan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang hadits iftirâq :

“Akan terpecah umat ini menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu.” Para Shahabat bertanya : “Siapa mereka wahai Rasulullah ?” Beliau menjawab : “Mereka yang menempuh jalan seperti jalan yang saya dan para Shahabat tempuh.”


Maka sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ini menetapkan para Shahabatnya serta menjadikan pemahaman dan amal perbuatan mereka sebagai teladan bagi generasi setelah mereka. Sebab mereka adalah orang-orang yang terjaga dari bersepakat di atas kesesatan, (sebagaimana) terdapat dalam hadits :

“Ummatku tidak akan sepakat di-atas kesesatan.”

Mengikuti jalan para ‘ulama salaf adalah wajib atas setiap muslim dan muslimah dalam segala perkara agama. Dan dalil akan wajibnya berasal dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma (kesepakatan) para ‘ulama dari zaman ke zaman.

Dalil Wajibnya Dari Al-Qur`an
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

Artinya“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (QS. At-Taubah ayat 100 ):
.
Ayat ini sangat tegas menunjukkan wajibnya mengikuti jalan para Salaf dan bahwa orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik akan mendapatkan keridhaan dan mendapat pahala sorga. Maka ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mengikuti mereka akan mendapat siksaan dan tidak akan mendapatkan keridhaan.

Dan Allah menjadikan keimanan para shohabat sebagai simbol kebenaran dan petunjuk, didalam firman-Nya Allah menegaskan :
Artinya“Maka jika mereka beriman seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kalian dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS.Al-Baqorah : 137)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah menafsir ayat ini dalam tafsir beliau yang terkenal : “{Maka jika mereka beriman} yaitu orang-orang kafir dari Ahlul Kitab  dan selain mereka {seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya} wahai kaum mu’minin dengan keimanan kepada seluruh kitab Allah dan Rasul-Nya tanpa membedakan seorangpun dari mereka {sungguh mereka telah mendapat petunjuk} yakni mereka telah tepat diatas kebenaran dan mendapatkan petunjuk kepadanya”.
Bahkan Allah ‘Azza Dzikruhu mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan para salaf dalam firman-Nya :

Artinya“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia larut dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa : 115).
Berkata Ibnul Qoyyim Al-Jauzy : “Sisi pendalilan dari ayat ini : bahwa ayat ini menjadikan penyelisihan jalan kaum Mu’minin sebagai sebab larutnya di jalan kesesatan dan masuknya ke dalam Jahannam, sebagaimana (ayat ini) juga menunjukkan bahwa mengikuti jalan Ar-Rasul shollallahu ‘alahi wa alihi wa sallam merupakan bagian dari pokok Islam yang agung yang memberikan konsekwensi harus dan wajibnya menempuh jalan kaum Mu’minin lagi wajibnya. Adapun jalan kaum Mu’minin adalah perkataan dan perbuatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, ini ditunjukkan oleh firman-NyaTa’ala :
“Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman”. (QS.Al-Baqorah : 285).

Dan kaum mu’minin waktu itu adalah para shahabat”. Demikian perkataan Ibnul Qoyyim dinukil dengan perantaraan kitab Bashoir dzawi Asy-Syaraf Bimarwiyat Manhaj As-Salaf  hal.54.

Kenapa kita harus mengikuti as Salaf???

Jawaban dari pertanyaan ini akan kita dengarkan dari seorang imam ahlil Hadist pada zaman ini yaitu; al Muhaddist al `Allaamah Muhammad Naashiruddiin al Albaaniy rahimahullahu Ta`aala.

Pertanyaan : Kenapa harus dinamakan dengan as Salafiyyah?? Apakah da`wah ini merupakan da`wah hizbiyyah, atau da`wah thooifiyyah atau da`wah madzhabiyyah, atau dia ini merupakan satu golongan yang baru dalam Islam ini??

Jawaban : Sesungguhnya kata kata “as Salaf” ma`ruufun (sangat dikenal) dalam bahasa `arab dan di dalam syari`at ini, yang terpenting bagi kita disini adalah pembahasannya dari sisi syari`at.

Sesungguhnya telah shohih dari pada Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam, bahwasanya beliau `Alaihi wa Sallam pernah berkata kepada anaknya Faathimah radhiallahu `anha sebelum beliau `Alaihi wa Sallam wafat :

Artinya : “Bertaqwalah kamu kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya sebaik baik “salaf” bagi kamu adalah saya…”[1]

Penggunaan kalimat ‘salaf” sangat ma`ruf dikalangan para `ulama salaf dan sulit sekali untuk dihitung dan diperkirakan, cukup bagi kita satu contoh dari sekian banyak contoh contoh yang digunakan oleh mereka dalam rangka untuk memerangi bid`ah bid`ah.
“Setiap kebajikan itu adalah dengan mengikuti orang salaf dan setiap kejelekan tersebut adalah yang diada adakan oleh orang khalaf”.

Ada sebahagian orang yang menda`wakan memiliki `ilmu, mengingkari penisbahan kepada “salaf”, dengan da`waan bahwa nisbah ini tidak ada asalnya. Dia berkata : “Tidak boleh bagi seseorang muslim untuk mengatakan saya seorang “salafiy,” seolah olah dia mengatakan juga : “Tidak boleh bagi seseorang mengatakan saya muslim yang mengikuti para “salafus shoolih” dengan apa apa mereka di atasnya dalam bentuk `aqidah, `ibadat dan akhlaq.” Maka tidak diragukan lagi bahwa pengingkaran seperti ini kalau benar benar dia ingkari, sudah tentu diwajibkan juga bagi dia untuk berlepas diri dari Islam yang benar, yang telah dijalani oleh para “salafus shoolih”, Rasuulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam telah mengisyaratkan dalam hadist hadist yang mutawaatir diantaranya :

Artinya : “Sebaik baik ummat saya adalah yang hidup sezaman dengan saya (sahabatku), kemudian orang orang yang mengikuti mereka (at Taabi`uun), kemudian orang orang yang mengikuti mereka (at Baaut Taa`bi`iin)….”[2]

Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari penisbahan kepada as Salafus Shoolih, sebagaimana kalau seandainya berlepas diri juga dari penisbahan yang lainnya, tidak mungkin bagi seorang ahli `ilmu untuk menisbahkannya kepada kekufuran atau kefasikan.

Orang yang mengingkari penamaan seperti ini (nisbah kepada “salaf”). Apakah kamu tidak menyaksikan, bukankah dia menisbahkan dirinya kepada satu madzhab dari sekian madzhab yang ada?, apakah madzhab ini berhubungan dengan `aqidah atau fiqh. Sesungguhnya dia mungkin Asy`ariy, Maaturiidiy dan mungkin juga dia dari kalangan ahlul hadist atau dia Hanafiy, Syaafi`ii, Maalikiy atau Hanbaliy diantara apa apa yang termasuk kedalam penamaan ahlus Sunnah wal Jamaa`ah, padahal seseorang yang menisbahkan dirinya kepada madzhab asy`Ariy atau kepada madzhab yang empat, sebenar dia telah menisbahkan dirinya kepada pribadi pribadi yang bukan ma`suum tanpa diragukan, walaupun diantara mereka ada juga para `ulama yang benar, alangkah aneh dan sangat mengherankan sekali, kenapa dia tidak mengingkari penisbahan kepada pribadi yang tidak ma`suum ini???

Adapun seorang yang mengintisabkan dirinya kepada “as Salafus Shoolih”, sesungguhnya dia telah menyandarkan dirinya kepada seseorang yang ma`suum secara umum (yang dimaksud Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam), Nabi Muhammad Shollallahu `alaihi wa Sallam telah menyebutkan tentang tanda tanda “al Firqatun Naajiyyah” yaitu seseorang yang berpegang teguh dengan apa yang Rasulullah Shollallahu `alaihi wa Sallam dan para shohabatnya ada di atasnya, maka barang siapa yang berpegang teguh dengan jalan mereka secara yaqin, dia betul betul berada di atas petunjuk Robnya.

Nisbah kepada “as Salaf” ini merupakan nisbah yang akan memuliakan seseorang menisbahkan dirinya kepadanya, kemudian memudahkan baginya untuk mengikuti jalan kelompok orang yang selamat tersebut, tidak sama dengan seseorang yang menisbahkan dirinya kepada nisbah yang lain, karena penisbahan itu tidak akan terlepas dia diantara dua perkara :

Pertama, dia mungkin meng-intisabkan dirinya kepada seseorang yang bukan ma`suum, atau kepada orang orang yang mengikuti manhaj (methode) orang yang bukan ma`suum ini, yang tidak ada sifat suci baginya, berbeda dengan shahabat Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam yang memang diperintahkan kita oleh Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam untuk berpegang teguh dengan sunnah (cara/methode)nya dan sunnah para shahabatnya setelah beliau wafat.

Dan kita akan terus menerus menganjurkan dan menerangkan agar pemahaman kita terhadap al Quraan dan as Sunnah benar - benar sesuai dengan pemahaman para shahabatnya Shollallahu `alaihi wa Sallam, supaya kita terjaga daripada berpaling dari kanan dan kekiri, juga terpelihara dari penyelewengan pemahaman yang khusus, sama sekali tidak ada dalil yang menunjukan atas pemahaman itu dari Kitaabullahi Subhaana wa Ta`aalaa dan Sunnah RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam.

kenapa tidak cukup bagi kita untuk menisbahkan diri kepada al Quraan as Sunnah saja?

Jawabannya kembali kepada dua sebab :

Pertama : Berhubungan dengan nash nash syar`ii.

Kedua : Melihat kepada keadaan firqoh firqoh (golongan golongan) islaamiyah pada sa`at ini.

Ditinjau dari sebab yang pertama : kita menemukan dalil dalil syar`ii memerintahkan untuk menta`ati sesuatu yang lain disandari kepada al Kitab dan as Sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Allah Ta`aalaa :

Artinya : “Hai orang orang yang beriman, tha`atilah Allah dan tha`atilah RasulNya, dan ulil amri diantara kalian.” ( QS. An Nisaa` 59 ).

Kalau seandainya ada waliyul amri yang dibai`at dikalangan kaum muslimin maka wajib untuk mentha`atinya sebagaimana kewajiban mentha`ati al Kitab dan as Sunnah, bersamaan dengan demikian kadang kadang dia salam serta orang orang disekitarnya, namun tetap wajib mentha`atinya dalam rangka mencegah kerusakan daripada perbedaan pandangan pandangan yang demikian dengan syarat yang ma`ruuf, demikian disebutkan dalam hadist yang shohih :

Artinya : “Tidak ada ketha`atan di dalam ma`shiat, sesungguhnya ketha`atan itu hanya pada yang ma`ruuf.”[3]


Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa berfirman:

Artinya : “Barang siapa menyakiti (menyelisihi) as Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam setelah sampai (jelas) kepadanya hudan (petunjuk), lalu dia mengikuti bukan jalan orang mu`minin (para shahabat), kami akan palingkan dia kemana sekira kira dia berpaling, lalu kami akan masukan dia keneraka jahannam yang merupakan sejelek jelek tempat baginya.”(QS. An Nisaa :115).

Sesungguhnya Allah `Azza wa Jalla Maha Tinggi dan Maha Suci Dia dari sifat kesia sia-an, tidak diragukan dan disangsikan lagi bahwasanya penyebutan jalan orang mu`miniin pada ayat ini sudah tentu ada hikmah dan faedah yang sangat tepat, yaitu; bahwasanya ada kewajiban yang penting sekali tentang pengikutan kita kepada Kitaabullahi Subhaana wa Ta`aalaa dan Sunnah RasulNya Shollallahu `alaihi wa Sallam wajib untuk dicocokan dengan apa apa yang telah dijalani oleh orang muslimiin yang pertama dikalangan ummat ini, mereka adalah shahabat Rasul Shollallahu `alaihi wa Sallam; kemudian orang orang yang mengikuti mereka dengan baik, inilah yang selalu diserukan oleh ad Da`watus Salafiyyah, dan apa apa yang telah difokuskan dalam da`wah tentang asas asas dan tarbiyahnya.

Sesungguhnya “ad Da`watus Salafiyyah”-merupakan satu satunya da`wah yang haq untuk menyatukan ummat ini, sementara apapun bentuk da`wah yang lain hanya memecah belah ummat ini; Allah `Azza wa Jalla berfirman :

Artinya : “Hendaklah kamu bersama orang orang yang benar”.(QS. At Taubah : 119), dan barangsiapa yang membedakan diantara al Kitaab dan as Sunnah disatu sisi, dan antara “as Salafus Shoolih disisi yang lainnya dia bukan seorang yang jujur selama lamanya.

Ditinjau dari sebab yang kedua : Kelompok kelompok dan golongan golongan pada hari ini sama sekali tidak menghadap secara muthlaq untuk mengikuti jalan orang mu`miniin (jalan para shahabat radhiallahu `anhum) seperti yang disebutkan pada ayat diatas, dan dipertegas lagi dengan sebahagian hadist hadist yang shohih diantaranya : hadist al firaq (mengenai perpecahan) menjadi tujuh puluh tiga gologan, yang keseluruhannya di neraka kecuali satu, Rasuulullahu Shollallahu `alaihi wa Sallam telah menjelaskan tentang sifatnya bahwasanya dia :

Artinya : “Dia (al Firqatun Naajiyyah) itu adalah sesuai dengan apa apa yang saya hari ini dan para shahabat saya.”[4]

Dan hadist ini serupa dengan ayat diatas menyebutkan jalan orang mu`miniin, diantaranya juga hadist al `Irbaadh bin Saariyah radhiallahu `anhu :

Artinya : “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan Sunnah dan Sunnah al Khulafaaur Raasyidiin al Mahdiyiin setelah saya.”[5]

Jadi dihadist ini menunjukan dua Sunnah : Sunnatur Rasuul Shollallahu `alaihi wa Sallam dan Sunnatul Khulafaaur Raasyidiin.

Diwajibkan bagi kita-akhir ummat ini- untuk kembali kepada al Kitaab dan as Sunnah dan jalan orang mu`miniin (as Salafus Shoolih), tidak dibolehkan bagi kita mengatakan: kita akan memahami al Kitab dan as Sunnah secara bebas (merdeka) tanpa meruju` kepada pemahaman “as Salafus Shoolih!!”

Dan wajib adanya penisbahan yang membedakan secara tepat pada zaman ini, maka tidak cukup kita katakan : saya muslim saja!, atau madzhab saya adalah al Islam!, padahal seluruh firqah firqah yang ada mengatakan demikian : ar raafidhiy (as Syii`ah) dan al ibaadhiy (al Khawaarij/Firqatut takfiir) dan al qadiyaaniy (Ahmadiyyah) dan selainnya dari firqah firqah yang ada!!, jadi apa yang membedakan kamu daripada mereka keseluruhannya??

Kalau kamu mengatakan : saya muslim mengikuti al Kitab dan as Sunnah juga belum cukup, karena pengikut pengikut firqah firqah yang sesat juga mengatakan demikian, baik al `Asyaairah dan al Maaturiidiyyah dan kelompok kelompok yang lain- keseluruhan pengikut mereka juga menda`wakan mengikuti yang dua ini (al Kitab dan as Sunnah).

Dan tidak diragukan lagi adanya wujud penisbahan yang jelas lagi terang yang betul betul membedakan secara nyata yaitu kita katakan : “Ana muslim mengikuti al Kitab dan as Sunnah di atas pemahaman “as Salafus Shoolih,” atau kita katakan dengan ringkas : “Ana Salafiy.”

Dan diatas inilah; sesungguhnya kebenaran yang tidak ada penyimpangan padanya bahwasanya tidak cukup bersandarkan kepada al Kitab dan as Sunnah saja tanpa menyandarkan kepada methode pemahaman “as Salaf” sebagai penjelas terhadap keduanya dalam sisi pemahaman dan gambaran, al `ilmu dan al `amal, ad Da`wah serta al Jihad.

Kita mengetahui bahwasanya mereka-radhiallahu `anhum- tidak pernah fanatik kepada madzhab tertentu atau kepada pribadi tertentu, tidak terdapat dikalangan mereka ada mengatakan : “Bakriy (pengikut Abu Bakr), `Umariy (pengikut `Umar), `Utsmaaniy (pengikut `Utsman), `Alawiy (pengikuti `Ali) radhiallahu `anhum ajma`iin, bahkan salah seorang dari kalangan mereka apabila memudahkan baginya untuk bertanya kepada Abu Bakr atau `Umar atau Abu Hurairah dia akan bertanya; yang demikian itu dikarenakan mereka betul betul yaqin bahwasanya tidak dibolehkan meng-ikhlashkan “ittibaa`” (pengikutan) kecuali pada seorang saja, ketahuilah dia adalah Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam; dimana beliau tidak pernah berbicara dengan hawa nafsunya melainkan wahyu yang diwahyukan padanya.

Kalau kita terima bantahan para pengeritik ini bahwasanya kita hanya menamakan diri kita “kami orang muslim”, tanpa menisbahkan kepada “as Salafiyyah”-padahal nisbah itu merupakan nisbah yang mulia dan benar-, apakah mereka (para pengeritik) akan melepaskan dari penamaan dengan golongan golongan mereka, atau madzhab madzhab mereka, atau thoriiqah thoriiqah mereka- yang padahal penisbahan dan penyadaran itu bukan disyari`atkan dan tidak benar?!!

Artinya : “Cukuplah bagi kalian perbedaan ini diantara kita

Dan setiap bejana akan menuangkan apa apa yang ada padanya.

Dan Allah Tabaaraka wa Ta`aalaa yang Menunjuki kita ke jalan yang lurus, dan Dia-Subhaana wa Ta`aalaa- Yang Maha Penolong.

Diterjemahkan oleh Abul Mundzir-Dzul Akmal as Salafiy

Dari Majallah as Ashoolah (no.9/86-90), dengan judul : “Masaail wa Ajwibatuha.”

1997M.